Hiportemia Kerap Mengancam Pendaki Gunung

Hiportemia Kerap Mengancam Pendaki Gunung

Hipotermia adalah salah satu kendala yang sering dikhawatirkan para pendaki saat menjejakkan kakinya di gunung. Tak sedikit dari mereka yang harus meregang nyawa karena serangan yang jamak terjadi di ketinggian ini.  Hal ini jugalah yang menimpa tiga pendaki remaja yang terbujur kaku di Gunung Tampomas. Ferdi Firmanyah (13), Lucky Parikesit (13), dan Agip Trisakti (15) merupakan pendaki remaja asal Indramayu yang tewas pada pada Minggu (3/3/2019). Tiga remaja lelaki ini diduga tewas akibat mengalami hipotermia. Hipotermia merupakan suatu kondisi dimana tubuh kesulitan mengatur keseimbangan suhu karena tekanan udara dingin. Kondisi ini disebabkan suhu bagian dalam tubuh berada di bawah 35 °C. Padahal, tubuh manusia hanya mampu mengatur suhu pada zona termonetral, yaitu antara 36,5 hingga 37,5°C. Di luar suhu tersebut, respons tubuh untuk mengatur suhu akan aktif. Dan menyeimbangkan antara produksi panas dan kehilangan panas dalam tubuh. Gejala hipotermia bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, saat tubuh dilanda hipotermia ringan, yakni ketika suhu tubuh di antara 32 °C dan 35 °C. Dalam kondisi ini, tubuh akan mengeluarkan reaksi gemetar, kulit dingin dan pucat, napas yang memburu, kelelahan, kebingungan, dan meracau. Gejala kedua adalah saat suhu tubuh sudah turun di bawah 32 °C. Ketika itu, tubuh akan berhenti menggigil, tak merasa kedinginan dan malah kepanasan. Di tahap itu, biasanya, korban akan melepas pakaiannya (paradoxical undressing) satu per satu. Lalu, ia lama-lama terkena halusinasi dan kehilangan kesadaran. Serangan penyakit khas hipotermia pernah digambarkan dalam Film Everest. Film ini menceritakan ulang pendakian ke puncak tertinggi di dunia pada tahun 1996. Saat itu, Rob Hall, pemandu dari Adventure Consultant membawa empat orang untuk mendaki Everest. 

\"\"
Namun, perjalanan mereka harus terhadang badai salju. Tiga orang dari tim, termasuk Rob harus tewas karena hipotermia. Dalam keadaan lemas kehabisan tenaga dan oksigen, satu di antara mereka tetap melucuti pakaiannya karena paradoxical undressing. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menolong korban hipotermia? Pertama, tentu saja memindahkan korban ke tempat yang lebih hangat. Lalu periksa pakaiannya, jika basah, lepaskan dan beri selimut. Setelah itu, berikan makanan yang mengandung kalori cepat bakar, seperti cokelat atau gula serta minuman hangat non alkohol. Jika korban sudah sampai taraf tidak bernapas, berikan CPR. Jangan sekali-kali menggosok anggota badan korban dengan keras atau memijatnya. Korban hipotermia juga tak boleh langsung meminum alkohol, menggunakan lampu pemanas, dan berendam di air panas. Tindakan-tindakan tersebut malah bisa menyebabkan fungsi jantung tiba-tiba berhenti.
Banyak kasus paradoxical undressing ditemukan pada korban tewas akibat hipotermia. Korban merasa kepanasan. Sebabnya, saat merasa kedinginan, tubuh akan membentuk mekanisme pengaturan kestabilan suhu. Caranya, dengan melebarkan pembuluh darah yang menyebabkan suhu tubuh meningkat. Itulah mengapa, dalam taraf ringan, cuaca dingin dapat menyebabkan demam. Di situlah paradoksnya. Mereka kedinginan, tapi kemudian membuka baju karena kepanasan. Jika tubuh terus-terusan terpapar suhu dingin, pembuluh darah di otak akan pecah karena pelebaran. Kondisi ini mengakibatkan pendarahan mendadak di celah antara otak dan membran tengah yang membungkus otak (subarachnoid) serta cedera hipotalamus. Padahal, hipotalamus merupakan bagian dari otak yang terdiri dari sejumlah nukleus dengan berbagai fungsi, salah satunya mengatur suhu. Paradoxical undressing diperkirakan terjadi pada 25 persen kasus kematian karena hipotermia. Selain mengalami paradoxical undressing, korban hipotermia juga akan melakukan mekanisme perlindungan primitif. Layaknya hewan berdarah panas lainnya saat terkena hawa dingin, mereka akan menggali lubang atau mencari tempat persembunyian yang hangat.
Manusia, juga akan mencari tempat-tempat “terpencil” seperti di bawah tempat tidur, di belakang lemari pakaian, di rak, dll. Mekanisme tersebut, muncul sebagai upaya perlindungan terakhir. Perilaku tersebut muncul karena aktivitas abnormal pada proses otonom batang otak akibat hipotermia. Masalahnya, terkadang terjadi salah dugaan dalam penyelidikan penyebab kematian korban hipotermia. Karena korban hipotermia mengalami paradoxical undressing dan melakukan mekanisme perlindungan primitif, tak jarang kematian korban hipotermia disalahartikan sebagai korban kejahatan seksual dan pembunuhan. Penemuan korban di ruang tertutup dan sempit dianggap seperti usaha penjahat untuk menyembunyikan mayat. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: